Jumat, 20 Februari 2009

Pendidikan dalam Islam

Bagi seorang muslim yang bergaya hidup Barat, kata Pendidikan Islam dalam pikirannya bermakna buku-buku teks yang diberikan pada anak didik yang mengandung ayat-ayat Al-Qur'an, Hadits, siroh, maupun fiqih. Dengan buku tersebut diharapkan dapat tercapai tujuan Pendidikan Islam. Namun perlu dicatat, bahwa dengan buku teks tidak akan menjamin terealisasinya tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Butuh sederetan proses panjang, yang terpenting adalah interaksi antara guru dan murid. Seperti yang dikatakan Cremin dan Borrowman "Tidak ada sekolah yang lebih baik daripada guru dan tidak pula ditemukan kurikulum lebih hebat dari guru yang melakukan proses pendidikan." Jadi tidak berlebihan bila dikatakan bahwa guru adalah tonggak utama dari proses pendidikan.

Satu abad yang lalu, gambaran Pendidikan Islam dalam benak seorang muslim sama dengan gambaran para ahli pendidikan dengan penambahan ciri keIslaman.
Rifa'ah Rafi' Ath Thahthawi mendefinisikan Pendidikan sebagai usaha mengembangkan jasmani dan jiwa anak didik semenjak lahir sampai tua dengan pengetahuan agama dan dunia. Meski pendapatnya bukanlah yang paling baik namun perlu mendapat penghargaan dalam menghadapi invasi pemikiran Barat yang berusaha menghapus kepribadian muslim. Pendapatnya dalam masalah pendidikan Islam jauh lebih baik dari pendapat-pendapat yang beredar di dunia Islam saat ini, yang memandang Pendidikan Islam dalam kerangka sempit.

Berikutnya dalam situasi yang sama yakni invasi terhadap dunia Islam, Imam Muhammad Abduh berpendapat bahwa budaya yang paling buruk bagi dunia Islam terdapat dalam diri ummat Islam sendiri. Setelah terpaku dalam peninggalan-peninggalan budaya pendahulu mereka baik dalam bidang bahasa maupun pemikiran agama. Mereka juga telah mengucilkan Islam dari jiwa kontemporer.

Pemahaman ummat Islam pada abad-abad lalu lebih jelas dan lebih dekat kepada jiwa pendidikan sebagai sebuah ilmu daripada pemahaman ummat Islam terhadap Pendidikan Islam saat ini. Ini membuktikan bahwa perang Salib terhadap dunia Islam telah memberikan hasil dan telah mencapai tujuannya dalam melakukan invasi terhadap ummat Islam dari dalam setelah mereka gagal melakukan penyerangan.

Apa yang terjadi dalam lapangan pendidikan Islam ini bukanlah keterbelakangan di bidang agama yang membuat ummat Islam terkubur dalam dosa, tetapi pencerminan dari keterbelakangan dalam bidang ilmu pendidikan. hal ini menunjukkan ketidakfahaman terhadap pendidikan sebagai sebuah ilmu dan spesialisasi.

Pendidikan Islam pada dasarnya adalah "ta'limu zati" yakni mendidik diri-sendiri atau otodidak. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat Al-Alaq ayat 1-5, yang bertujuan menyiapkan manusia-manusia shalih yang memenuhi syarat kepemimpinan.

Dalam bidang pendidikan terjadi pengadopsian terhadap sistem, pemikiran, ilmu, teknologi, di samping penemuan-penemuan ilmiah lainnya. Dikhotomi dalam pendidikan terjadi dalam administrasi pendidikan, penyiapan guru, kurikulum, metode dan hal-hal lain yang berhubungan dengan proses belajar mengajar dalam lembaga pendidikan formal yang diadopsi dari Barat.
Dalam pendidikan non formal, seperti surat kabar, majalah, televisi, dan seni ini lebih buruk lagi. Karena merupakan bagian dari westernisasi yang kita rancang sendiri dengan asumsi bahwa hal itu akan membawa kemajuan.

Pendidikan Islam yang kita inginkan adalah yang ideal dan sebagaimana seharusnya, yang tujuan dan dasar-dasarnya berdasarkan pada ruh Islam yang dituangkan Allah dalam Al-Qur'an dan dicontohkan Rasul dalam hadits.

Pendidikan tidak tumbuh secara mutlak, tapi ia sesuatu yang terbatas sebagai sebuah sistem yang menyiapkan manusia untuk hidup dalam masyarakat tertentu, di tempat dan waktu tertentu pula.
Tujuan ini berdasarkan realita masyarakat dan lingkungan yang mengitarinya, juga berdasarkan kepada nilai yang bersumber dari agama dan kebudayaan. Pandangan Islam dalam semua hal itu berbeda dengan pandangan agama, filsafat dan idiologi lainnya. Masyarakat Islam mempunyai kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan lain. Semua itu secara tidak langsung berpengaruh pada teori pendidikan Islam dan terhadap penerapan teori itu.

Konsekuensi ini menjadikan dunia Islam saat ini berada dalam bahaya serangan aliran-aliran asing yang merusak dan adanya invasi akidah sebagai akibat kekosongan hati ummat Islam.

Maka kita dihadapkan pada pilihan: Apakah kita akan dapat mempertahankan wujud kita atau eksistensi kita akan lenyap.
Yang perlu diingat adalah eksistensi hanya akan muncul bila kita kembali pada peninggalan kita, pada rahasia kekuatan dan kemmpuan kita untuk menghadapi tantangan-tantangan yang banyak tersebut.


Pendidikan Islam merupakan sendi utama peradaban Islam. Maka ketika telah menyimpang dari prinsip-prinsip yang diciptakan Allah dan Rasul-Nya, ummat Islam akan mengalami krisis dan diterpa keterbelakangan di semua aspek kehidupan. Akibat jauhnya dari tuntunan Allah.

Dunia Islam pada saat ini mengalami krisis pendidikan. Lebih dari sekedar ekonomi maupun politik. Hal ini terlihat dari pertambahan jumlah manusia buta huruf, baik buta huruf yang sebenarnya maupun terhadap risalah manusia. Pemerataan pendidikan khususnya di negara-negara berkembang (Islam) digantikan oleh sistem pendidikan sekuler. Hal ini menyebabkan proses pendidikan dan transfer ilmu manusia berkisar pada materi belaka.
Sehingga pendidikan menjadi juz'iy (parsial). Sehingga tidak berperan dalam pembentukan manusia muslim seutuhnya.

Karena sesungguhnya di balik sistem pendidikan import yang tidak Islam terdapat filsafat yang berbeda dengan filsafat Islam, karena ia berasal dari prinsip yang tidak berazaskan Islam. Hal inilah yang membawa pada kemunduran yang diderita oleh dunia Islam setelah mereka bebas dari penjajahan fisik.
Tatkala kita lengah terhadap unsur kebudayaan kita akan berakibat pula terhadap sistem pendidikan. Kegoncangan yang akan ditimbulakan kuat sekali.

Seperti kita ketahui bahwa kebudayaan penjajahan di dunia Islam meruoakan usaha westernisasi yang panjang. Yang telah berpuluh-puluh tahun telah menjadikan kebudayaan barat sebagai bagian dari kebudayaan ummat Islam kontemporer.

Pada waktu yang sama telah menjadi suatu kebutuhan ummat Islam dalam masyarakat internasional kontemporer, baik produk-produk material teknologi maupun produk sistem pendidikan dan gaya hidup sehari-hari.

Tanpa kita sadari, kita terjebak pada arus pendidikan yang telah membudaya tersebut.

Namun logika kita menuntut agar seluruh masalah pendidikan yang ada di dunia Islam pada saat ini perlu dikaji lebih jauh.
Bukanlah seluruh yang ada itu jelek, sebagaimana gambaran banyak orang, dan bukan pula seluruh yang ada di dalamnya merupakan obat dari penyakit keterbelakangan.

Di dalamnya terdapat unsur-unsur yang cocok dengan kita sebagai muslim dan ada pula yang tidak sesuai. Yang penting semua unsur tersebut disusun dan digariskan dari satu sumber, yakni Islam.

Pendekatan Pendidikan Islam berbeda dengan pendekatan lainnya. Karakteristik manusia yang digunakan ummat Islam telah diuraikan dengan jelas oleh Islam. Kita bisa melihatnya dari Al-Qur'an dan Hadits. Oleh sebab itu tidak ada tempat untuk berkhayal dalam bidang ini.
Meskipun ijtihad para ulama sangat luas, terutama dalam bidang metode dan media pendidikan yang dapat kita pergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.

Ada dua hal penting sebagai awal pendidikan Islam tersebut berlangsung, yaitu Pendidikan Islam di rumah dan di sekolah.





Selasa, 17 Februari 2009

Dzikroyat

Seseorang telah mengirim e-mail pada saya tentang sebuah dzikroyat atau perenungan bagaimana Allah dalam memandang hamba-Nya dan bagaimana sejatinya kita dalam mengahadapi hidup ini. Kita sebagai manusia yang tak pernah lepas dari kesalahan dan dosa.


"Di dalam sebuah gua yang gelap gulita, sejak dahulu kala, bahkan hingga berabad-abad lamanya tidak tersentuh manusia. Terakhir kali setelah terjadinya banjir besar Nabi Nuh.
Tapi yang luar biasa, ketika memasuki gua yang beratus-ratus tahun kelam dan sunyi, ketika masuk ke gua tersebut, lalu menyalakan sebuah korek api dan lilin, sedetik kemudian, ..zap... Subhanallah, gua tersebut menjadi terang dalam hitungan satu detik, walau terangnya seperlunya saja."


Ini artinya sekelam apapun masa lalu diri kita masing-masing yang bisa jadi hitamnya jiwa ini bahkan sepanjang umur masa muda kita.
Ternyata dengan ijin Allah, cahaya Allah dalam wujud taubat itu dapat memutihkan, menerangi dalam diri kita dalam sekejap.
Kun, pada saat itu kita menghendakinya, di sinilah aplikasi atau realitas dari rukun iman yang keenam. Takdir adalah qodo dan qodar. Plan and action by Allah. Makhluk atau kita inilah hamba-Nya yang menjalankan action atau ikthiar qodar tersebut.
Maka rumusnya takdir adalah sejauh mana kita ikhtiar.
Jadi kalau Allah punya rencana (plan) terhadap blue print (skenario) hidup kita yang sudah selesai dibuat di lauh mahfuzh.
Tapi kita tetap punya peluang, win-win solution, untuk "mempertahankan qadar yang baik" dan merubah "qadar yang buruk". Karena sudah sunatullah (hukum alam)nya yang baik datangnya dari Allah dan yang buruk datangnya dari diri kita sendiri karena internal (hawa nafsu) dan eksternal (syaiton jin dan manusia).
Dan Allah maha suci dari sifat buruk, cela, dan seterusnya.


Ternyata rahmat Allah adalah sejenis hak veto yang dimiliki Allah. Maksudnya Allah berkehendak untuk mendekati diri kita hamba-Nya menurut mau atau kehendak-Nya. Percuma, sesuci, sesholih apapun diri kita kalau tanpa rahmat, izin atau kehendak-Nya.
Intinya, dahulukan, utamakan, keinginan Allah. Meski tidak enak bagi diri sendiri.


Kedewasaan spiritual (ruhiyah) sangat sulit dikerjakan, direkayasa secara manusiawi. Padahal ia adalah jati diri atau inti kita yang sebenarnya. Unsur spiritual ini adalah asli dari Allah. Berwujud ruh yang merupakan nyawa kita. Isi ruh tersebut adalah kehendak Allah yang berjumlah 99 (asmaul husna). Maka sunatullahnya kita harus mengembalikan, membiarkan Allah membangun atau mendewasakan spiritual kita.
Dengan membiasakan kehendak Allah tersebut hidup, aktif dan menjadi nyawa kita.
Maka self-motivasi kita berupa kehendak Allah. Dengan begitu, dengan sendirinya spiritual kita menjadi tumbuh dan berkembang. Dari jiwa anak-anak atau jiwa bodoh menjadi jiwa dewasa atau jiwa cerdas.


Fa firru ilallah, Ya ayyatuha an nafs al mutmainnah, irji'i ila robbiki, radhiyatan mardhiyyah, Fa dkhulii fii 'ibadii, wa dkhulii jannatii.


Rabu, 14 Januari 2009

Keberanian untuk Meraih Kemenangan

Syaja'ah atau keberanian merupakan jalan untuk mewujudkan sebuah kemenangan dan sebagai izzah keimanan. Tak pernah boleh ada, kata gentar bagi kita saat mengemban tugas bila ingin meraih kegemilangan. Dari sisi inilah kaum yang beriman berada jauh di atas kebanyakan orang. Karena izzah keimanan menuntun mereka untuk tidak takut atau gentar sedikitpun.
"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang beriman". (Ali Imran:139)

Dalam mengusung amanah dakwah slogan "jangan pernah takut, Maju pantang mundur, Berani karena benar, rela mati demi kebenaran" tidak boleh luntur melainkan harus tetap terpatri dalam sanubari kita ini. karena Asy syaja'ah (keberanian) mengemban amanah umat merupakan tuntutan dakwah.

Karena sikap Asy syaja'ah merupakan tuntutan dakwah maka para kita mesti selalu memompa dan menopang keberaniannya agar kata takut dan pengecut tidak lagi melekat dalam dirinya. Takut dan pengecut tidak boleh ada dalam memperjuangkan dakwah. Adapun pilar-pilar yang menghantarkan diri seorang kader memiliki sifat asy syaja'ah adalah:

Al Iman bil Ghalb (iman dengan yang gaib)
Penopang yang amat kokoh untuk menguatkan sikap asy syaja'ah dalam diri kita adalah memperkuat keyakinannya akan hal-hal yang gaib, seperti yakin akan pertolongan Allah SWT. Yakin akan malaikat-malaikat-Nya yang senantiasa membantu orang yang memperjuangkan agama Allah SWT. Begitu pula yakin akan kehidupan akhirat yang ditentukan oleh amaliyah kita di dunia, khususnya amal-amal dakwah.
Keyakinan semacam ini adalah buah dari tarbiyah yang telah menanamkan rasa takut hanya pada Allah SWT, dan senantiasa bergantung pada-Nya. Sehingga kader memiliki cantolan yang teramat kuat. Lantaran pegangan dirinya kepada yang Maha Kuat, ia tidak pernah mundur menghadapi cobaan dan rintangan dakwah. Demikianlah hasil dari proses tarbiyah yang panjang, membina aktivis untuk senantiasa yakin dengan sebenar-benarnya pada kekuatan yang Ghaib.
Karenanya jiwa para kader tidak boleh luput untuk selalu berinteraksi pada Allah SWT, agar dikuatkan diri dan jiwa dalam memeperjuangkan dakwah. Karena kemenangan para pejuang dakwah bukan ditentukan oleh kekuatan material melainkan kekuatan dari Yang Maha Perkasa.

Al Mujahadah Ala Al Khauf (menaklukan rasa takut)
Rasa takut sebagai lawan asy syaja'ah memang amat manusiawi, kenyataan ini merupakan watak alamiyah yang dimiliki setiap insan. Seperti takut terbakar, tenggelam, terjatuh dimangsa binatang buas dan lain sebagainya. Namun rasa takut semacam itu harus berada di bawah khauf syar'i yakni takut kepada Allah SWT. Sehingga setiap kader dakwah sepatutnya menaklukan rasa takut thabi'inya dengan mengedepankan rasa takut kepada Robbul Izzati. Dengan begitu mareka akan ringan dalam memperjuangkan dakwah, tidak maju mundur lantaran ketakutan-ketakutan yang ada dalam dirinya.
Selayaknya setiap kader dakwah selalu menunjukkan rasa takut insaniyahnya dengan mendominasikan rasa takut syar'inya. Sehingga yang selalu tertanam dalam dirinya hanya takut pada Allah semata. Dan tidak pernah gentar akan kekuatan-kekuatan selain Allah SWT.

Taurita Al Khairiyah (mewariskan hal yang terbaik)
Penopang lainnya adalah dengan mempertimbangkan keadaan generasi berikutnya harus lebih baik dari sebelumnya. Maka warisan yang ditinggalkan unruk mereka adalah warisan-warisan kemuliaan. Sehingga mereka mengikuti jejak para pendahulunya yang mempunyai akhlak mulia. Bila menginginkan generasi sesudahnya menjadi pemberani, maka wariskan sifat berani pada mereka. Namun bila mewariskan sifat takut dan pengecut, maka jangan harap generasi berikutnya menjadi orang-orang yang heroik dan patriotik.
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allahdan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (An Nisa:9)

As Shabru Ath Tha'ah (bersabar pada ketaatan)
Keberanian akan terus ada pada diri kader bila mereka bersabar. Sabar terhadap peristiwa yang mereka alami. Karena kesabaran itu merupakan senjata ampuh yang memberikan ketahanan menghadapi tekanan berat sekalipun. Dengan kesabaran kita pun dapat membandingkan kejadian yang dirasakan generasi yang lalu dengan yang sedang kita rasakan. Mereka tentu telah mengalami cobaan yang lebih berat ketimbang yang kita alami saat ini. Dengan kesabaran ini kita dapat bertahan dan terus maju melangkah di atas jalan dakwah ini. Allah SWT pun mengingatkan agar senantiasa bersabar dan menguatkan kesabaran.

Al Ajru min Allah (berharap balasan dari Allah)
Bila balasan yang dijanjikan Allah terngiang-ngiang di benak kita, maka tidak ada alasan untuk takut atau pengecut. Rasulullah SAW mengingatkan Abdullah bin Harits yang mengungkapkan keinginannya untuk masuk Islam. Namun ia perlu mengajukan dua syarat yang memang terjadi pada dirinya. Pertama, tidak dibebankan infak karena dia orang yang termiskin di keluarga dan kabilahnya dan tidak pula diwajibkan berperang karena dia seorang yang penakut. Nabi menjawab, "Wahai Abdullah, bila itu kamu syaratkan lalu dengan apa kamu akan masuk syurga?" Maka Abdullah menandaskan, "Kalau begitu ya Rasulullah, aku akan berinfak dan akan berjuangkan di jalan Allah SWT." Begitulah akhirnya Abdullah bin Harits berada di barisan terdepan di jalan dakwah tanpa rasa takut atau lemah.

Syaja'ah atau pemberani tentu saja berbeda dengan bersikap nekat, "ngawur" atau tanpa perhitungan dan pertimbangan. Asy Syaja'ah adalah keberanian yang didasari pertimbangan matang dan penuh perhitungan karena ingin meraih ridha Allah, tentu saja diperlukan ketekunan, kecermatan, dan kerapian kerja (itqan). Bukan keberanian yang tanpa perhitungan yang melahirkan kenekatan, namun juga bukan terlalu perhitungan dan pertimbangan yang melahirkan ketakutan.

Keberanian adalah kelaziman dalam dakwah dan menjadi sikap yang melekat. Ia adalah identitas. Dengarlah senandung yang menggumamkan "Di dalam hatiku selalu terdengar suara Nabi yang memerintahkan, 'Berjihadlah, berjuanglah dan lelahkan dirimu.' Dan berseru, 'Menanglah, kalahkan musuh dan berlatihlah jadilah kamu selamanya orang merdeka yang pantang menyerah. Hai para pemberani lakukanlah karena kita punya hari esok dan harapan."

Sabtu, 03 Januari 2009

2 Januari 2009, aksi PKS






Agresi barbar yang dilakukan Israel terhadap Palestina, menyebabkan protes di beberapa negara di dunia, dengan menggelar aksi-aksi maupun memberikan bantuan dalam bentuk makanan, minuman maupun tim relawan untuk Palestina. Tak terkecuali di Indonesia sendiri, berbagai aksi dan bantuan dilakukan oleh beberapa ormas di pelosok nusantara. Pun pada Jum'at 2 Januari 2009, PKS sebagai partai dakwah menggelar aksinya, ribuan kader yang ada di kawasan Jabodetabek tumpah ruah di Bundaran HI. Aksi dilakukan setelah sholat jum'at dan berakhir pada saat adzan ashar. Mereka melakukan long march dari HI menuju Kedubes AS, menuntut dihentikannya agresi tersebut. Teriakan takbir dan syair-syair perjuangan mewarnai "aksi damai" tersebut. "aksi damai" karena banyak terdapat wanita, anak-anak, balita, dan orang tua.

Kamis, 01 Januari 2009

Catatan Sebuah kematian



Kematian seperti apakah yang kita inginkan?

Setiap mendengar kata kematian, aku langsung teringat kurang lebih tujuh tahun yang lalu, saudara seperjuanganku, seorang akhwat asal Jogja (sebut saja namanya Ami), seorang gadis muslimah yang nyaris sempurna.
Dia baik, pintar, cantik, dan shalihah.
Suatu saat halaqoh kami mengadakan acara kegiatan pelatihan mengurus jenazah atau yang biasa disebut dengan Dauroh Janaiz. Bertempat di sebuah masjid di kawasan gunung Putri Bogor. Kegiatan dimulai dari teori cara memandikan dan mengkafani jenazah, yang disampaikan oleh seorang Ustadzah...(namanya aku lupa, tapi beliau tinggal di daerah mampang Jakarta).
Pada waktu saat praktek, timbul masalah, siapakah yang mau bersedia menjadi jenazah? Sementara panitia hanya menyediakan boneka, dan rasanya itu kurang afdhol.
Dari seratus orang peserta tidak ada yang mau, begitu juga dengan panitia penyelenggara (maksudnya halaqoh kami yang berjumlah delapan orang).
Sebenarnya aku mau saja, tapi tugasku sebagai register dan fotografer tidak mungkin kutinggalkan, disaat-saat kebingungan itu, tiba-tiba Ami maju ke depan, "Biar ana saja ukh..." ujarnya mantap.
"Ok. tafadhol ukh..." aku mempersilakan.
Seolah-olah menjadi jenazah sungguhan, Ami dengan rela tubuhnya dibungkus dengan kain kafan, diikat tali dan diberi kapas. Aku segera mendokumentasikan momen-momen tersebut.

Tiba-tiba dadaku serasa berdesir, kutatap wajah Ami yang pucat pasi, aku seperti melihat Ami yang lain, Ami yang sudah tak bernyawa lagi. Secara iseng aku pegang tangannya yang masih berbalut dengan kain kafan.
Dan jantungku hampir berhenti berdetak, tangannya dingin sekali. Aku mulai berfikir yang tidak-tidak. Apakah dengan cara ini Ami meninggal? Segera kutepis pikiran tersebut, kulihat ke sekeliling, semua masih asyik menyimak penjelasan Ustadzah dalam menyampaikan materi sekaligus praktek mengurus jenazah.
Ah..., mudah-mudahan hanya perasaanku saja.

Aku bisa bernafas lega ketika usai acara, Ami menghampiriku. "Apa yang ukhti rasakan saat menjadi mayat tadi..." tak sabar kutanyakan hal itu padanya.
Dia memandangku tanpa ekspresi, bibirnya bergetar ingin mengatakan banyak hal, tapi yang keluar hanya ucapan "Ana takut ukh..." dan tangisnya pun pecah di pelukanku.

Tiga hari berikutnya, aku ke tempat kos-kosannya, kutunjukkan foto-foto hasil jepretanku saat acara dauroh janaiz, Ami mengambil lima buah foto, itu adalah foto-foto dirinya saat ia menjadi "jenazah".
Secara refleks ia mengambil lem, kemudian ditempelkannya foto-foto tersebut di dinding kamarnya. Aku memandangnya takjub juga heran, "Agar ana selalu ingat akan mati ukh..." ucapnya seolah tahu apa yang ada dalam benakku.

Malamnya sepulang dari tempat Ami, aku tidak bisa tidur, ingat mimipi burukku tentang kematian Ami, ingat dauroh janaiz, ingat Ami yang jadi "jenazah", ingat foto-foto Ami yang ditempel di dinding, ingat kata-katanya, ingat tangisannya, ingat semuanya.
Akhirnya kuhabiskan malam itu dengan qiyamulayl, tilawah, dan doa Robithoh, ribuan doa kupersembahkan untuk Ami, saudara seperjuanganku...
Ya Allah...lindungilah ia...
selamatkanlah saudaraku...
berikan kehidupan yang terbaik untuknya...
berikanlah tempat terbaik di sisiMu nanti...

Dua hari setelah peristiwa mimipi buruk itu, aku mendengar kabar, Ami kecelakaan motor, sepulang dari rumah sakit bersama teman sekantornya.
Ami kehabisan darah sehingga langsung meninggal di tempat kecelakaan tersebut.
Inna lillahi wa inna ilayhi roji'un...

Aku hampir tak percaya saat kusaksikan Ami berlumuran darah.
Ya Allah...ternyata dengan cara ini, Engkau mengambil nyawa saudaraku...???
Apa yang kurasakan dan kupikirkan tentang kematian Ami selama ini menjadi kenyataan.

Kematian yang baik atau burukkah ia...?
Syahidkah ia...?
Ya Allah...apapun jenis kematian yang menimpa saudaraku ini, berikanlah tempat yang terbaik untuknya...

Kematian adalah rahasia Allah, di manapun dan kapanpun, kematian akan selalu mengintai kita.
Entah itu di tempat tidur ataupun di tiang gantungan...
Kita hanya berharap dimatikan Allah dalam keadaan khusnul khotimah...
Motto kita "Hidup mulia atau mati syahid"

Kematian seperti apakah yang kita inginkan...???

(mengenang kematian saudara seperjuangan)