Minggu, 03 Januari 2016

TOMAT



 
TOMAT
Apakah yang terlintas dalam benak kita bila melihat tomat? Tomat, terserah anda mau memasukkannya ke dalam kelas buah atau sayuran. Yang jelas ia sangat familiar bagi kita, nikmat, kaya mamfaat, dan sangat mudah diperoleh.
Pernahkah terlintas, tomat itu hadir memberi kita nasihat? Sungguh tidaklah Allah menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia, hatta sebuah tomat. Dan kita, seorang muslim, selalu dituntut untuk membaca ayat-Nya, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Mari hadirkan dalam benak kita sebuah tomat.
            Bentuknya khas, mudah dikenali, mudah pula ditanam, pun tak sukar di dapat. Tak pilih-pilih, mau diambil oleh seorang dhuafa ataupun aghniya. Itulah muslim, bisa gaul, tak segan berbaur, namun tak lebur. Ciri khasnya tak hilang, walau di tengah banyak perbedaan.
            Tomat juga fleksibel. Mau dicampur sayur oke, mau dijus ayo, dibuat wedang pun sehat, dimakan mentah juga nikmat. Muslim itu tidak kaku, apalagi arogan. Warnanya pun menarik. Ada yang hijau menyejukkan, merah mengundang selera, perpaduan warna keduanya juga cantik. Intinya, ia selalu menarik. Menarik dalam arti bukan semata kecakapan fisik. Namun lebih pada inner beauty. Cantik hati, yang membiaskan pesona tetap lestari.
            Namun duka pun kadang menimpa si tomat. Ketika ia menjadi busuk karena waktu, lingkungan, atau perlakuan. Ia kadang dianggap remeh dan disia-siakan. Sering dengan ringan tangan membuang, si tomat yang telah buruk rupa lagi bau. Weer! Lewat jendela. Tapi lihatlah! Ketika ia menemukan lahan subur dalam pembuangan. Ia tetap berusaha eksis, meneruskan keinginan memberi, melanjutkan estafet regenerasi, melanggengkan tradisi pewarisan, walau sendiri. Ia akan tumbuh lagi setelah diguyur hujan, dalam kedinginan. Muslim, harus terus survive. Tak peduli dimana pun ia akan ditempatkan. Di atas, di tengah, atau di ujung bawah yang paling gelap dan sempit sekalipun. Tak nampak, tak dikenal. Tapi ia tak akan kehilangan peran. Jiwanya kreatif, menciptakan ladang amal sendiri, karena ia menyadari, mulianya ia karena karya. Karya yang akan mengantarkannya menapak jalan surga. Begitulah dalam jamaah, bukan posisi yang dicari. Tapi kunci dan jaminan jannah Allah, yang ia yakini hanya ada dalam keridhaan penerimaan. Wallahu’alam. (Ummu Husna)

Tidak ada komentar: