cerpen

Suatu Malam Dalam Sebuah Perjalanan
Oleh: Dari Azura

Hampir pukul satu malam ketika aku sampai di tempat kelahiranku. Bis yang kutumpangi datang tidak sesuai dengan jadwal, sehingga tiba di tujuan terlambat. Seharusnya dari jam empat sore tadi sudah sampai. Dan bukan hanya itu saja, pada musim menjelang hari Lebaran seperti saat sekarang ini, banyak yang memanfaatkannya untuk pulang kampung, ke rumah orang atau saudara, atau pergi ke luar daerah hanya untuk sekedar berlibur. Sehingga jalananpun menjadi macet.
Aku mengeluh dalam hati, menyesali perjalanan ini. Dan tanpa diduga bis yang kutumpangi mogok. Kekesalanku bertambah, mungkin sama seperti lima penumpang yang terakhir turun di tempat ini.   Sehingga para penumpang yang tinggal enam orang termasuk aku terpaksa harus turun di tengah jalan. Padahal terminal masih jauh sekitar dua kilometer lagi.
Sementara malam makin larut, tak ada lagi bis kota atau angkutan umum yang masih beroperasi, dan tak satupun ojek yang kelihatan. Hanya satu harapanku. Becak. Ya, aku berharap masih ada becak yang akan lewat. Jadi aku tak perlu jalan kaki untuk menuju terminal seperti yang dilakukan oleh para penumpang yang lain.
Satu menit, dua menit, tiga puluh menit. Sudah setengah jam aku menunggu. Tak ada tanda-tanda becak yang akan lewat. Kulihat supir dan kondektur bis tertidur pulas menunggu pagi hari, dan para penumpang yang tadipun sudah tak kelihatan, mungkin sudah sampai. Aku menyesal karena telah menolak ajakan mereka tadi.
Aku mulai gelisah, kulihat arlojiku, jarum jam menunjukkan pukul dua kurang sepuluh menit, akhirnya kuberanikan diri untuk berjalan menuju terminal, menyusuri pinggiran kota Purwokerto di malam sepi, sendiri. Meskipun aku sering pulang, tapi sungguh, ini seperti tempat yang asing bagiku apalagi di tengah malam.
Ada kecemasan dan ketakutan yang menyergap. Takut kalau ada orang yang akan berbuat jahat, sementara aku sendirian, perempuan berjilbab di tengah malam sepi. Namun segera kubuang jauh-jauh perasaan itu sambil memandangi kanan kiri jalan yang penuh dengan toko-toko yang tertutup, dihiasi dengan lampu warna-warni. Sementara langit di atas sana cerah ditaburi bintang-bintang dan ditemani bulan purnama yang sesekali tertutup awan.
Aku tersenyum sendiri menyaksikan keindahan alam. Langkahku makin mantap sambil membayangkan sampai rumah nanti pasti ayah dan ibu terkejut sekaligus gembira menyambut kepulanganku yang tak memberi kabar lebih dulu.
Aku kembali melihat arlojiku, sudah pukul dua dinihari, berarti sudah sepuluh menit aku berjalan. Tapi kenapa tidak sampai juga ke terminal? Batinku.
Tiba-tiba dari arah belakang sebuah sepeda motor berhenti tepat di sampingku. Dua orang laki-laki masih muda, sebaya denganku. Memakai jaket kulit. Yang di depan memakai topi dan berkacamata. Sehingga aku tidak melihat dengan jelas wajahnya. Sedangkan yang di belakang segera turun menghampiriku. Sejenak aku terpana melihat wajahnya yang sangat mempesona dan senyumnya yang begitu menarik tapi cepat-cepat aku beristghfar dalam hati. Tetap ada rasa kaget dan takut tiba-tiba.
“Kok sendirian aja, Mbak?” sapanya ramah sambil tesenyum.
“Eh…I…iya.” Jawabku gugup dan takut-takut.
“Jangan takut Mbak, aku orang baik-baik kok, memang ada tampang seperti pejahat ya?” selorohnya sambil tertawa, seolah tahu apa yang ada dalam benakku.
Aku tersenyum dan bernafas lega. Pelan-pelan ketakutanku mencair
“Oya Mbak, mau ke mana sich, kok malam-malam begini di jalanan, sendirian lagi.”
“Terminal bis.” Jawabku singkat tanpa menoleh sambil meneruskan kembali berjalan. Dan laki-laki itupun menjejeri langkahku, sedangkan temannya mengikuti dari belakang sambil menuntun sepeda motornya.
“Kalau gitu aku temani ya?” pintanya.
Aku diam tak menjawab. Dia masih tetap berjalan di sampingku. Ada perasaan risih memang. Tapi apa boleh buat. Aku butuh teman. Paling tidak untuk diajak ngobrol. Untuk sementara suasana hening, sampai kemudian dia bersuara lagi.
“Mbak, boleh kenalan kan? Namaku Ari.” Dia mengulurkan tangannya, mengajak bersalaman. Aku berhenti sejenak. Bingung. Apa yang harus aku lakukan terhadap tangan itu. Tak lama kemudian aku menangkupkan kedua tanganku di dada.
“Namaku juga Ari.” Kataku jujur. Dia menarik kembali tangannya. Malu atau kecewa? Aku tak tahu. Aku tidak melihat raut wajahnya. Tapi kemudian dia tertawa kecil.
“Kok nama kita bisa sama ya, oya aku kuliah di Unsud semester tujuh, kalao Mbak?”
“Di Bogor semester empat”. Jawabku sedikit berbohong.
“Lho, kok bisa sampai sini?”
Aku tak menjawab. Tepatnya aku bingung mesti jawab apa, panjang ceritanya kalau harus aku jelaskan. Dan aku malas untuk menjelaskan pada orang yang tidak aku kenal sama sekali. Laki-laki yang di sebelahku tidak bertanya lagi, dia menoleh ke belakang. Aku berbuat sama. Kulihat temannya masih mengikuti di belakang. Kali ini dia tidak menuntun motornya. Tapi mengendarainya dengan pelan mengikuti kami.
Tiba-tiba aku seperti disadarkan oleh sesuatu. Sudah berapa lama aku berjalan? Aku merasa bahwa langkahku ini bukannya mendekati terminal tapi justru sebaliknya, menjauhi terminal. Untuk memastikannya aku bertaya pada laki-laki yang masih menemaniku berjalan.
“Maaf ya, kalau terminal itu sebenarnya ke arah mana ya?”
“Oh… kita jalan aja terus, sebentar lagi nyampai kok.” Ujarnya meyakinkanku.
Tapi aku ragu. Kalau memang benar ini arah menuju terminal, harusnya sudah sampai dari tadi.
“Kenapa, Mbak?” tanyanya menyelidik.
“Oh…gak apa-apa kok.” Aku berusaha menyembunyikan kecemasanku. Aku mulai punya firasat yang tidak baik.
Tiba-tiba dari arah depan di seberang jalan ada sebuah becak yang berjalan tersendat menuju arah kami. Seketika aku melambaikan tangannya pada seorang bapak tua yang mengayuh becak tersebut.
“Lho Mbak, terminal sudah dekat. Biar aku aja yang antar!” laki-laki yang di sampingku berkata dengan memaksa.
“Terima kasih banyak, tapi aku mau naik becak aja.” Ujarku tanpa mempedulikannnya.
“Jangan! Biar sama aku aja!” kali ini dengan berteriak.
Aku kaget. Tak kulihat lagi senyum manis dan sikap ramahnya. Tiba-tiba tangan kanannya sudah mencekal lenganku. Aku tercekat. Aku meronta dan berusaha melepaskan tanganku darinya. Dan berhasil. Cepat-cepat aku berlari menyeberang jalan menuju becak yang sudah menunggu.
“Pak…! Cepat ya, ke terminal!” pintaku dengan nafas memburu. Dan seolah tahu, si tukang becak mengayuh dengan sekuat tenaga. Sepintas aku dapat melihat laki-laki yang bersamaku tadi menahan amarah dan kecewa. Kemudian bersama temannya ia pergi meninggalkan tempat itu, lurus menuju utara.
“Lho, pak ini mau ke mana?” tanyaku setelah sadar bahwa aku telah jauh meninggalkan tempat yang tadi.
“Katanya mau ke terminal, Mbak. Ya ini jalannya ke arah selatan.”
“Tapi kata orang tadi harusnya menuju utara, Pak!” kataku dengan kukuh.
“Wah… Mbak ini mau saja dibohongi, kalau ke utara sana itu ke arah Baturraden, biasanya kalau malam-malam begini banyak anak-anak muda yang ke sana, tepatnya sih ke tempat-tempat yang gak bener.” Jelasnya.
“Jadi yang tadi…” kalimatku menggantung. Lidahku terasa kelu. Berarti laki-laki tadi berbohong. Aku tidak bisa membayangkan seandainya laki-laki yang barusan kukenal yang mengaku bernama Ari itu benar-benar membawaku ke tempat seperti itu.
Aku begidik ngeri.
“Nah, Mbak sudah sampai, mau turun gak?” si bapak tukang becak membuyarkan lamunanku. Aku tergagap. Mengamati sekeliling. Dan aku bersorak dalam hati, ternyata aku sudah sampai di terminal. Dengan cepat aku turun, kukeluarkan uang sepuluh ribuan dua lembar dan memberikannya pada tukang becak itu, sebagai ucapan terima kasih.
Tukang becak itu melongo menerima uang yang kuberikan, seolah tak percaya, kemudian diciumnya uang itu berkali-kali.
“Terima kasih, Mbak. Terima kasih banyak!” ujarnya dengan logat Jawa yang begitu kental.
Aku tersenyum mengangguk. Kemudian kulihat bapak tukang becak itu pergi.
Dari masjid terminal kudengar suara adzan Subuh berkumandang. Tak henti-hentinya aku mengucapkan istighfar dan hamdallah. Mohon ampunan atas kecerobohan dan kelalaianku. Bersyukur karena Engkau ya Allah masih sayang pada hamba-Mu. Menyelamatkanku dari tangan-tangan orang yang hendak berbuat jahat.
Pelan aku memasuki peron menuju angkutan umum yang akan membawaku ke kampung halamanku.
Aku masih ingat bayangan wajah laki-laki itu, ternyata di balik penampilan dan sikapnya yang ramah  tersimpan niat yang tidak baik. Air mataku menitik haru, terima kasih ya Allah atas pelajaran-Mu malam ini.

 **********************************************************************************



BLINDATE
Oleh:  Dari Azura

    Sepuluh menit berlalu. Namun bayangan wajah Pak Hilmi masih melekat. Sebentuk senyum menghiasi wajahnya. Ia ingat, belakangan ini wajah dosen muda yang handsome itu selalu hadir dalam mimpinya, bahkan ketika ia sedang melamun. Dan kini tiba-tiba wajah itu muncul di hadapannya. Mendadak ia merasa ruangan ini berubah menjadi sebuah taman yang indah. Lagu ‘Kuch Kuch Hota Hai’ mengalun. Ia menjelma menjadi sosok Anjeli yang berpasangan dengan Rahul dalam film India. Ia tersenyum sendiri membayangkan adegan konyol itu.
    "Mey…!" sebuah suara memanggilnya, memutuskan alam khayalnya. Ia kaget sekaligus malu ketika menyadari Pak Hilmi sedang menatap curiga.
    "Eh…iya Pak, aduh…maaf Pak." ucapnya salah tingkah.
    "Saya cuma mau ngasih tahu, ini ada majalah Snap terbaru. Mungkin kamu mau baca?"
    "Iya Pak, tentu! Terima kasih. Mmm…Pak gimana kalau majalah ini buat saya saja?" ah, dasar Mey, dikasih hati minta jantung!
    Pak Hilmi berpikir sejenak, tapi sesaat kemudian anggukannya mampu membuat Mey nyaris melonjak kegirangan.
    "Ya sudah tidak apa-apa. Oh ya kameramu yang SLR Mamiya masih di rumah, besok saya bawa." dengan cepat Mey mengangguk, hatinya dipenuhi dengan bunga setaman.
    Di pojok kelas, Yus sahabatnya memandang dengan senyum menggoda. Dan seketika tawanya pecah begitu Pak Hilmi meninggalkan ruangan. Mey melotot sebal, tapi Yus malah mendekat dan dengan cepat majalah Snap telah berpindah tangan. Ditelusurinya lembar demi lembar. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada halaman keempat. Wajahnya berubah serius.
    "Wedding photography, apanya yang salah Yus?"
    Yus menggeleng. Mey tak mengerti.
    "Elo mau married?" tebaknya. Bukannya menjawab, Yus malah menatap Mey tajam.
    "Pulang kuliah ada yang ingin gue omongin. Penting?"
    Mey kian tak mengerti.
    *** 
    Pukul satu siang.
  Sepuluh menit berlalu. Tapi belum ada tanda-tanda Yus mau membicarakan hal penting seperti yang dikatakannya tadi. Bahkan dia iseng memberikan tebakan-tebakan tak bermutu. Mey sudah tak sabar, disapukannya pandangan ke seluruh sudut kantin kampus, seekor kucing menatap iba.
   "Mey, tahu gak apa bedanya jemuran sama telepon?" Yus mulai lagi dengan tebakannya. Mey menggeleng nyerah, bukannya tak mau berpikir, tapi ia sudah jenuh.
   "Kalau kring sama-sama diangkat…he…he…" dan terlihat jelas cengiran di mata Yus. Mey cemberut, kesal.
   Yus tersenyum. Ia tahu siapa Mey, sahabatnya sejak kecil. Tentang sifatnya, kelakuannya, kesukaanya, dan cita-citanya.
   "Mey, gue ingin elo jujur. Elo suka sama Pak Hilmi kan?" Mey seperti tersengat. Tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu secara tiba-tiba. Ia bingung. Tapi akhirnya ia mengangguk, kemudian menggeleng, dan dengan cepat mengangguk lagi.
   "Gue serius Mey, ini ada hubungannya dengan yang gue omongin nanti."
   "Kayaknya cuma orang bodoh yang gak suka sama dia." Mey nyeleneh.
   "Kalau gitu elo beneran suka sama dia?"
   "Iya, lebih dari suka malah. Mungkin rasa sayang…"
   "Trus elo ngerasa gak, kalau dia juga suka sama elo?"
   "Perasaan sih gitu, buktinya dia suka perhatian dan ngasih majalah itu."
   "Kalau cuma perhatian, bukan berarti dia suka sama elo kan? Trus soal majalah itu, dia sengaja ngasih apa elo yang minta?"
   "Lho, kok nanyanya gitu, bukannya sama aja!" Mey mulai tersinggung.
   "Konotasinya akan berbeda. Kalau dia sengaja ngasih, berarti dia emang perhatian sama elo. Tapi kalau elo yang minta, gue pikir elo mesti siap buat kecewa!"
   "Gue gak ngerti maksud lo sebenarnya apa?" Mey manatap Yus dalam, sebaliknya Yus hanya menarik nafas dalam-dalam.
   "Bulan depan dia mau nikah…"
   Mey kaget, bagai hujan petir menyambar, angin membuat pucuk-pucuk daun menari nakal.
   "Elo tahu dari mana?"
   Masih tak percaya Mey meminta penjelasan.
   "Dia sepupu gue yang di Bandung, dan sekarang ngajar di kampus kita."
   "Elo serius…?"
   "Apa gue ada tampang pembohong?" Yus balik tanya.
   Seketika lengkap sudah penderitaan Mey. Wajahnya mendung. Perasaan malu, kesal, dan kecewa berkecamuk jadi satu. Rasanya ingin secepatnya hilang tertelan bumi.
   "Elo kok gak bilang dari awal kalau kalian masih saudara?"
   "Lha, elo gak nanya!"
   Mey gemas mendengar jawaban seperti itu.
   "Mey, sorry gue gak bermaksud buat nyakitin elo. Gue cuma mau elo sadar dan ngeliat kenyataan ini. Karena selama ini gue perhatiin elo udah berubah. Masih banyak hal penting yang mesti elo pikirin. Soal ujian, cita-cita, dan terutama masa depan elo sendiri."
   "Gak apa-apa Yus, gue yang mestinya terima kasih sama elo, karena udah nyadarin diri gue."
   Keduanya terdiam cukup lama.
   Sampai akhirnya…
   "Mey, gimana kalau elo yang jadi fotografernya pas dia nikah nanti, elo kan punya kamera bagus dan hobi ngeker."
   "Hah! Gak…gue gak mau…!" Mey teriak kaget.
   "Lho, kenapa?  Elo Masih patah hati, gak rela?"
   "Bukan gitu maksud gue, Yus!"
   "Trus…!"
  "Elo kan tahu, gue masih belajar, masih amatiran, takutnya nanti hasilnya malah mengecewakan!"
    "Tenang Mey, elo tahu kan fotografer profesional, Damon Rizki?"
    "Iya, trus apa hubungannya?" Mey penasaran.
   "Sebenarnya gue mau ngambil layanan Lighthouse Photography miliknya. Jadi nanti elo bisa belajar banyak dari Damon. Syukur-syukur bisa nyaingin dia kan?"
    "Hah! Yang bener Yus, kalau gitu gue mau…!"
    Mey teriak histeris.
    Yus bengong.
    Seekor kucing tersentak kaget, kemudian lari terbirit-birit. 

**********************************************************************************


RUANG  WAKTU
Oleh: Dari Azura

Suatu sore, di sudut kota bernama Purwokerto, kota dengan ciri khas makananya yaitu kripik dan mendoan. Tak sengaja, aku bertemu sahabat lama. Yang berpisah sejak tujuh tahun lalu setamat SMA. Dia yang menyapaku lebih dulu saat berpapasan jalan. Ada yang berubah dengan penampilannya. Rambutnya panjang.
Atas desakannya aku mampir ke rumahnya. Seperti reuni kecil. Kami bernostalgia, berdua bermain gitar sampai larut malam. Cerita yang terhalang bertahun-tahun muncul lagi dalam ingatan, seperti kejadian yang baru dialami. Setelah bernostalgia, dia mulai bercerita.
“Adit pernah merasa bahwa Tuhan itu tidak adil.” dia mengawali ceritanya. Seperti dulu, dia lebih suka menyebutkan namanya sendiri daripada ‘aku’ atau ‘saya’.
“Buat Adit, hidup ini terlalu pahit. Selepas SMA begitu banyak tragedi yang menimpa. Tak sedikit pun waktu yang bisa Adit nikmati. Kau tahu kan Dani, musik adalah bagian dari hidup Adit?” sambil memetik gitarnya, dia mengajukan pertanyaan retoris. Aku mengangguk. Kuputuskan untuk menjadi pendengar yang baik. Meski berbagai masalah ingin kuceritakan juga padanya.
“Ayah melarang untuk bermain musik. Ayah ingin Adit mengikuti jejaknya. Jadi seroang pengusaha yang sukses. Tapi mama lebih membela Adit yang tetap kukuh bergelut di dunia musik. Hal inilah yang memicu pertengkaran mereka. Hampir setiap hari. Tak ada ruang waktu untuk sekedar bercanda atau bercengkrama. Apalagi setelah ketahuan kalau ayah menikah lagi.” matanya menerawang mengingat kejadian beberapa tahun silam, sebelum kemudian melanjutkan lagi ceritanya.
“Akhirnya ayah memutuskan untuk menceraikan mama. Semua harta dan perusahaan diambil alih ayah. Mama hanya pasrah kemudian pindah ke kota ini dengan memulai usaha baru yaitu membuka restoran.  Tapi buat Adit, kepergian ayah justru membuat Adit merasa bebas untuk bermain musik. Karena tak ada lagi yang menghalangi. Namun tak lama, musibah dating lagi usaha yang mama kelola mengalami bangkrut. Akhirnya mama jatuh sakit, dan lima bulan yang lalu mama meninggalkan Adit untuk selamanya.”
Diam sejenak. Lalu mulai lagi dia memetik gitarnya. Memainkan sebuah komposisi yang baru kali ini kudengar. Awalnya terdengar janggal. Perlahan komposisi yang dimainkannya itu menghadirkan suasana sendiri. Bunyi petikannya bagus, akurat, nyaris tidak tersendat-sendat. Adit sedang mengekspresikan suasana. Dia bercerita banyak lewat petikan gitar dalam komposisinya sendiri. Suasana yang kutangkap saat itu adalah sepi. Ya, “Lonelyness”. Tapi ada ketegaran. Sikap tak mau menyerah dalam suasana sepi yang terkadang bisa sangat mencekam. Aku baru menyadari bahwa di rumah ini tak ada siapa-siapa lagi selain aku dan Adit.
Komposisi berakhir. Terdengar dia menarik nafas. Hembusannya serasa memadu dengan komposisi yang baru saja selesai dimainkannya. Akhir cerita dalam komposisi itu melelahkan. Aku tahu itu adalah cermin dari hidupnya
“Kau berhasil melewati semua itu?”
“Awalnya tidak, bahkan kepergian mama sempat membuat  Adit nyaris bunuh diri. Adit sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain ayah yang sudah tidak menganggap Adit sebagai anak lagi. Saat itu Adit merasa kalut. Namun ternyata masih ada orang yang peduli dengan Adit. Kamu masih ingat dengan Diaz?”
“Tentu saja,aku tak akan lupa dengannya. Bagaimana kabarnya sekarang?” Aku tersenyum penasaran. Membayangkan musuh bebuyutanku semasa SMA. Diaz, terkenal dengan julukan preman sekolah karena segala hal yang berbau negatif menempel padanya.
“Saat Adit ingin mengakhiri hidup. Dia datang ke sini. Tadinya Adit tidak percaya. Penampilannya berubah total. Dia seperti ustad muda. Di saat-saat Adit tak punya pegangan. Dia datang di waktu yang tepat. Saat itu dia memberikan banyak pencerahan. Satu hal yang Adit takkan lupa. Dia bilang; manusia dan masalah itu seperti pantai dengan air laut. Setiap hari, setiap saat, riak gelombang air laut akan selalu menyambangi pantai. Namun sang pantai tak sekalipun lari meninggalkannya. Dia biarkan air laut itu menghampirinya lalu meninggalkan buihnya. Seperti juga kita. Janganlah lari dari setiap masalah. Sekecil apapun masalah itu pasti akan ada hikmahnya.”
“Kau yakin dengan kata-katanya itu?”
Agak lama ia terdiam, sebelum mulai lagi bercerita mengisahkan perjalanannya.
“Adit sadar, apa yang dikatakannya itu benar. Hanya saja Adit butuh sebuah ruang waktu untuk dapat melupakan semua kenyataan pahit. Butuh proses untuk memulainya dari awal. Sejak saat itu Diaz sering datang ke sini, memberi semangat hidup dan dukungan moral.”
“Dan sekarang kau mendapatkan apa yang kau cari?”
Dia tersenyum, jari-jari tangannya memetik snar gitar membentuk kunci G, sambil mencari not-not kemudian memadu nada.
“Mungkin, tapi belum sempurna. Yang pasti saat ini Adit ingin terus mewujudkan impian mama, meneruskan usahanya yang sempat terhenti. Meski Adit tidak begitu menguasai, tapi ada Diaz yang selalu siap membantu. Dan tentu saja Adit akan tetap bermain musik.”
Tak bisa kusembunyikan kekagumanku padanya. Dengan tegarnya dia berhasil melewati masa-masa sulit. Jalan hidupnya jelas beda denganku. Bahkan masalah yang ia hadapi lebih besar. Mungkin apa yang dikatakannya benar, perlu proses untuk berubah. Butuh sebuah ruang  dan waktu untuk memulai semuanya.
Aku tercenung. Melihat diri sendiri. Masalah yang kuhadapi sekarang hanyalah bagian kecil dari hidupku. Bukankah tujuan utamaku datang ke kota ini jusru dalam rangka untuk menghindari masalah? Selain aku juga ingin mengunjungi nenek. Aku marah dan kecewa. Aku tak bisa menerima kenyataan, bahwa perempuan yang selama ini aku panggil mama ternyata bukan orang yang melahirkanku. Aku hanyalah anak pungut yang diambil dari panti asuhan ketika umurku belum lagi sebulan. Orang tua kandungku sendiri tak ada yang tahu keberadaannya. Entah masih hidup atau sudah meninggal. Iulah kenyataannya.
Setelah pertemuan itu kebekuanku mencair. Aku mulai bisa menerima kenyataan. Kusempatkan untuk bertemu Diaz di sebuah restoran milik Adit. Diaz bercerita banyak tentang kehidupan ini.
“Kau tahu Dani, hidup adalah sebuah perjalanan singkat untuk menuju sebuah keabadian. Dan kita musafir. Jadi sayang kalau hidup yang sangat singkat ini tidak kita gunakan sebaik-baiknya. Adapun berbagai masalah yang dihadapi itu merupakan warna-warni kehidupan. Ibarat pelangi tak akan indah kalau hanya punya satu warna. Dan untuk menghadapi itu semua, kita hanya punya satu kata yaitu ikhlas. Ikhlas menerima segala hal yang Allah berikan untuk kita. Mungkin kau akan mencemooh kata-kataku ini, karena kau tahu, seperti apa aku dulu. Tapi percayalah, semua orang bisa berubah, termasuk aku. Mungkin aku tak lebih baik dari kamu, tapi selama ini aku selalu berusaha untuk mendapatkan kebaikan itu.”
Aku takjub mendengar kalimat-kalimatnya yang ringan mengalir. Hatiku mulai sejuk. Kalau dulu dia adalah ‘musuhku’. Kini aku percaya dengannya. Ingin rasanya terus mendengar kalimat-kalimat selanjutnya.
“Tak ada satupun manusia di dunia ini yang tak punya masalah. Kalau ingin tak punya masalah ya lebih baik tak usah hidup. Mati saja.” Ujarnya sambil tertawa. Suasana yang hadir menjadi terasa akrab.
Di sampingku, duduk Adit memetik gitarnya sambil melantunkan satu tembang milik Iwan Fals. Ibu. Tiba-tiba aku mulai merindukan ibuku.
*********************************************************************************