Selasa, 17 Februari 2009

Dzikroyat

Seseorang telah mengirim e-mail pada saya tentang sebuah dzikroyat atau perenungan bagaimana Allah dalam memandang hamba-Nya dan bagaimana sejatinya kita dalam mengahadapi hidup ini. Kita sebagai manusia yang tak pernah lepas dari kesalahan dan dosa.


"Di dalam sebuah gua yang gelap gulita, sejak dahulu kala, bahkan hingga berabad-abad lamanya tidak tersentuh manusia. Terakhir kali setelah terjadinya banjir besar Nabi Nuh.
Tapi yang luar biasa, ketika memasuki gua yang beratus-ratus tahun kelam dan sunyi, ketika masuk ke gua tersebut, lalu menyalakan sebuah korek api dan lilin, sedetik kemudian, ..zap... Subhanallah, gua tersebut menjadi terang dalam hitungan satu detik, walau terangnya seperlunya saja."


Ini artinya sekelam apapun masa lalu diri kita masing-masing yang bisa jadi hitamnya jiwa ini bahkan sepanjang umur masa muda kita.
Ternyata dengan ijin Allah, cahaya Allah dalam wujud taubat itu dapat memutihkan, menerangi dalam diri kita dalam sekejap.
Kun, pada saat itu kita menghendakinya, di sinilah aplikasi atau realitas dari rukun iman yang keenam. Takdir adalah qodo dan qodar. Plan and action by Allah. Makhluk atau kita inilah hamba-Nya yang menjalankan action atau ikthiar qodar tersebut.
Maka rumusnya takdir adalah sejauh mana kita ikhtiar.
Jadi kalau Allah punya rencana (plan) terhadap blue print (skenario) hidup kita yang sudah selesai dibuat di lauh mahfuzh.
Tapi kita tetap punya peluang, win-win solution, untuk "mempertahankan qadar yang baik" dan merubah "qadar yang buruk". Karena sudah sunatullah (hukum alam)nya yang baik datangnya dari Allah dan yang buruk datangnya dari diri kita sendiri karena internal (hawa nafsu) dan eksternal (syaiton jin dan manusia).
Dan Allah maha suci dari sifat buruk, cela, dan seterusnya.


Ternyata rahmat Allah adalah sejenis hak veto yang dimiliki Allah. Maksudnya Allah berkehendak untuk mendekati diri kita hamba-Nya menurut mau atau kehendak-Nya. Percuma, sesuci, sesholih apapun diri kita kalau tanpa rahmat, izin atau kehendak-Nya.
Intinya, dahulukan, utamakan, keinginan Allah. Meski tidak enak bagi diri sendiri.


Kedewasaan spiritual (ruhiyah) sangat sulit dikerjakan, direkayasa secara manusiawi. Padahal ia adalah jati diri atau inti kita yang sebenarnya. Unsur spiritual ini adalah asli dari Allah. Berwujud ruh yang merupakan nyawa kita. Isi ruh tersebut adalah kehendak Allah yang berjumlah 99 (asmaul husna). Maka sunatullahnya kita harus mengembalikan, membiarkan Allah membangun atau mendewasakan spiritual kita.
Dengan membiasakan kehendak Allah tersebut hidup, aktif dan menjadi nyawa kita.
Maka self-motivasi kita berupa kehendak Allah. Dengan begitu, dengan sendirinya spiritual kita menjadi tumbuh dan berkembang. Dari jiwa anak-anak atau jiwa bodoh menjadi jiwa dewasa atau jiwa cerdas.


Fa firru ilallah, Ya ayyatuha an nafs al mutmainnah, irji'i ila robbiki, radhiyatan mardhiyyah, Fa dkhulii fii 'ibadii, wa dkhulii jannatii.


Tidak ada komentar: